Zonajatim.com, Sidoarjo – Sidang gugatan 6 warga Desa Gedangan yang menolak ganti rugi pembebasan lahan pembangunan jalan Frontage Road ( FR) kembali digelar PN Sidoarjo, Jumat (24/12/2021) dengan agenda mendengar keterangan saksi serta ahli.
Saksi yang diajukan Dimas SH selaku kuasa hukum 6 warga Desa Gedangan yakni Isno, takmir mushola yang juga kena dampak pembebasan lahan FR serta Rina saksi ahli yang dosen Universitas Trunojoyo dan ahli bidang agraria dan pertanahan.
Kepada majelis hakim, saksi Isno yang ditanya Dimas SH selaku kuasa hukum 6 warga Desa Gedangan mengatakan bahwa selaku takmir mushola pihaknya didatangi tim appraisal pembebasan lahan FR pada Kamis (22/12/2021) karena sebagian lahan mushola kena kepras untuk proyek FR. “Tim appraisal datang melakukan pendataan dan tidak membahas harga ganti rugi,” ujarnya.
Menurut Isno, sesuai informasi yang ia dapat bahwa lahan mushola yang jaraknya sekitar 4,5 meter dari proyel FR bakal kena dampak pembangunan jalan FR karena itu akan diganti dengan mushola baru. “Setahu saya di RT 33 RW 09 Desa Gedangan ada 12 rumah dan 1 mushola yang kena dampak pembangunan FR, ke 12 rumah kena kepras halaman dan bangunannya,” katanya.
Isno juga mengaku dengan adanya proyek FR lingkungan rumahnya sekarang terjadi banjir saat hujan karena kondisi rumah dan jalan lebih tinggi proyek jalan FR sedangkan untuk mushola tidak kena banjir karena lokasinya sudah tinggi. Lebih lanjut Isno mengatakan untuk pembangunan FR ada 12 rumah warga yang lahan dan rumahnya kena gusur, sementara 6 warga belum tergusur karena menggugat di PN Sidoarjo. “Saya tidak tahu alasannya, yang jelas rumah 6 warga itu harus dibebaskan,” katanya.
Sementara saksi ahli Rina, mengatakan pengadaan tanah untuk kepentingan umum harus memenuhi sejumlah asas, diantaranya pengantian yang layak dan adil. “Artinya harus memberikan jaminan penggantian layak sehingga mendapatkan kehidupan yang lebib baik dari yang ada sekarang,” katanya.
Oleh karena, tim appraisal yang ditunjuk harus memenuhi standar penilaian SPI 204 dan PPI 04. “Tim appraisal juga harus menganut asas keterbukaan dengan mengajak warga untuk berbicara sehingga tercapai kesepakatan yang sebenarnya,” katanya.
Ketika disodorkan oleh tim kuasa hukum 6 warga Desa Gedangan mengenai dokumen harga ganti rugi yang diberikan ke pemilik lahan, saksi ahli Rina menilai bahwa dalam dokumen itu ada komponen-komponen yang tidak dijabarkan oleh tim appraisal. “Pergantian pembebasan lahan untuk kepentingan publik tidak hanya soal ganti fisik saja melainkan juga non fisik seperti aspek ekonomi, emosional dan transaksi serta sisa tanah, itu sangat penting karena yang digusur adalah manusia, makanya aapek kemanusianhya harus dipertimbangkan juga,” paparnya.
Saksi ahli Rina juga mengakui bahwa hasil penilaian tim appraisal adalah final dan mengikat ketika disepakati bersama dengan warga pemilik tanah. “Kalau tidak dilakukan sesuai prosedure artinya sesuai mekanisme yang ada maka salah satu pihak bisa melakukan gugatan hingga kasasi,” tegasnya.
Seperti diketahui, langkah Pemkab Sidoarjo membebaskan lahan di jalur Gedangan untuk frontage road terpaksa tertunda. Pasalnya enam warga pemilik lahan memilih mengajukan gugatan ke PN Sidoarjo karena tak terima dengan ganti rugi yang dinilai kecil.
Sedikitnya 6 warga RW 09 Dusun Gedangan Desa Gedangan, menggugat BPN dan Dinas PU Bina Marga Pemkab Sidoarjo lantaran keberatan atas proses appraisal, karena dinilai tidak ada transparasi proses ganti rugi. Dimas SH selaku kuasa hukum 6 warga Gedangan, mengatakan penolakan pemilik lahan terkait proses ganti rugi yang tidak transparan ini sangatlah wajar.
Alasannya ganti rugi harus melibatkan masyarakat secara terbuka dan tim appraisal harus lembaga akuntabel. “Faktanya proses ganti rugi ini, dilakukan dengan narasi tekanan. Seperti ungkapan nilai appraisal yang sudah tinggi, dan kalau tidak mau maka warga tidak akan mendapatkan harga yang sesuai, dan uangnya akan dititipkan ke pengadilan,” jelas Dimas saat mengikuti sidang gugatan di PN Sidoarjo.
Nilai ganti rugi yang ditetapkan tim appraisal permeter Rp 13 juta, namun warga minta Rp 35 juta permeter dengan dasar bangunan rumah mereka besar dan bertingkat.“Karena tidak ada kejelasan ganti rugi sebenarnya kepada masing-masing penerima dan tim appraisal tidak kompeten karena tidak ada alamatnya serta cuma satu tim appraisal saja serta tidak ada rujukan informasi cara menghitung yang diterima warga maka kita menolak,” urai Dimas yang mengaku warga akan tetap mempertahankan hak milik meskipun ada eksekusi. sp