Zonajatim.com, Surabaya – Seorang mantan napi Lilies Pratiwining Setyarini (LPS) akhirnya dipilih oleh Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia (Bawaslu RI) Jumat (23/7/2021) dalam gelaran pelantikan komisioner Bawaslu Kota Surabaya penggantian antar waktu (PAW) untuk sisa masa jabatan 2018 – 2023.
Gelaran itu sendiri dilaksanakan secara dalam jaringan (daring), di kantor Bawaslu Provinsi Jatim. Padahal, Lilies Pratiwining Setyarini (LPS), yang mantan dosen Universitas PGRI Ronggolawe (Unirow) Tuban, merupakan mantan narapidana Lapas II B Kabupaten Tuban, karena kasus perzinahan dengan salah seorang mantan Kepala Desa di Kecamatan Widang, Tuban.
Pasalnya, LSP pernah ditolak KPU Surabaya saat wawancara bulan Februari, menjadi calon anggota Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Kenjeran urutan ke 7 dari 10 besar, pada Pilkada Kota Surabaya tahun 2020. Karena mendapatkan penolakan melalui aduan masyarakat ke KPU Surabaya.
Sungguh ironis sekali, ditolak KPU, tetapi oleh Bawaslu justru dipilih. Meskipun sempat mendapat penolakan masyarakat, sama halnya ketika terjadi di KPU Surabaya, Bawaslu RI tetap keukeuh alias ngotot ditetapkan sebagai Anggota Bawaslu Surabaya.
Menurut Komisioner Bawaslu Jatim 2012- 2017, Sri Sugeng mengatakan, harus ada pendalaman terkait pelantikan PAW Bawaslu Surabaya yang digelar secara senyap, sebab dalam memilih calon itu soal track record yang harus disampaikan ke Bawaslu RI sebagai dasar dalam menentukan pilihan.“Kalau sudah diplenokan itu kan bukan tertutup, karena keputusan lembaga. Prinsip kolektif kolegial itu keputusan lembaga yang disampaikan ke public. Track record calon sebelum menjabat itu seharusnya menjadi patokan Bawaslu RI. Paling tidak menjadi sebuah catatan yang seharusnya sebagai dasar, mana yang pantas dan layak untuk menjadi PAW Bawaslu Surabaya. Itu seharusnya menjadi pertimbangan Bawaslu RI, untuk menentukan, memilah dan memilih,” terang Sri Sugeng, yang juga Pengacara kepemiluan ini.
Ia menambahkan, karena sudah diatur dalam perundang-undangan sangatlah wajar jika ada pihak-pihak yang merasa keberatan dengan adanya keputusan pelantikan kemudian melakukan laporan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP).
“Sah-sah saja jika ada yang merasa keberatan dengan pelantikan PAW, karena itu hak yang diberikan undang-undang. Silakan saja. Kan nanti bisa diuji di DKPP. Kan calon itu juga seleksi dari Bawaslu Jatim yang juga harus bertanggung jawab. Ketika nanti di DKPP kan diuji itu. Mana itu tindakan-tindakan yang melanggar kode etik atau tidak,” imbuhnya.
Sementara itu ditempat terpisah, Ketua Public Service Watch Community (PSWC), Atiek Oktoberiyantiningsih mengatakan, pada bulan April 2021 Bawaslu Jatim mengundang LPS terkait pelantikan dan pengambilan sumpah/janji sebagai calon PAW Anggota Bawaslu Surabaya. Kemudian, pada tanggal dan bulan yang sama terbit surat penundaan pelantikan, yang menurut informasi adanya aduan masyarakat terkait penolakan LPS sebagai calon terpilih. Selang 2 bulan, muncul surat klarifikasi dan meminta penjelasan atas laporan/aduan masyarakat.
“Seharusnya, sesuai UU KIP, atau UU 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik sangat penting sebagai landasan hukum yang berkaitan dengan pertama, hak setiap orang untuk memperoleh Informasi. Kedua, kewajiban Badan Publik menyediakan dan melayani permintaan Informasi secara cepat. Bukannya diundang, ditunda, diklarifikasi terus diam dalam senyap sudah dilantik calon terpilih. Tanpa tahu apa hasil klarifikasi yang notabene anggota (Bawaslu Surabaya) terpilih adalah mantan napi,” terang alumni ITS ini.
Selanjutnya, masih kata Atiek, KPU dan Bawaslu adalah sama-sama badan public yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Yang wajib terbuka dan transparan selaras dengan Nawacita Presiden Joko Widodo.
“Kalau begini menodai Nawa Cita, khususnya pada poin, Membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya, dengan memberikan prioritas pada upaya memulihkan kepercayaan publik pada institusi-institusi demokrasi dengan melanjutkan konsolidasi demokrasi melalui reformasi sistem kepartaian, pemilu, dan lembaga perwakilan. Masa sama-sama penyelenggara pemilu bisa beda dalam kasus yang sama, Terus Bawaslu dasarnya apa? ini kan aneh,” pungkasnya dengan nada heran. Nar