Zonajatim.com, Sidoarjo – Polemik dana atau anggaran ‘ngendon’ yang dititipkan di sejumlah bank tidak hanya terjadi di APBN saja. Akan tetapi juga patut diduga terjadi di beberapa wilayah dan daerah. Terutama di sejumlah daerah yang serapan anggarannya masih minim hingga menjelang akhir tutup tahun 2025 ini.
Di Kabupaten Sidoarjo misalnya. Tercatat dalam realisasi Tahun Anggaran 2024 Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sidoarjo menunjukkan lebih dari Rp 900 miliar dana daerah sempat didepositokan di sejumlah bank. Hasilnya, dalam hitungan bunga cukup memang menggiurkan dengan nilai pendapatan bunga sekitar Rp 14,28 miliar. Perolehan bunga itu, melampaui target anggaran sebesar Rp 9,18 miliar dalam setahun.
Peneliti tata kelola keuangan daerah dari Institute for Public Budgeting (IPB), Dr. Arif Rahmanto, menilai praktik deposito kas daerah mencerminkan wajah lama birokrasi keuangan, lamban, terlalu berhitung, tetapi miskin eksekusi.“Ini bukan soal pintar mencari bunga, tapi soal salah prioritas. Ketika dana publik didepositokan, artinya ada anggaran yang seharusnya bisa bekerja untuk rakyat, tapi justru mengendap di bank,” ujar Arif kepada wartawan, Minggu (26/10/2025).
Dari laporan BPKAD Sidoarjo, penempatan terbesar berada di Bank Jatim dengan nilai Rp 50 miliar per deposito. Beberapa di antaranya memberikan bunga di atas Rp1,3 miliar per periode, menunjukkan penempatan jangka menengah dengan hasil tinggi.
Di sisi lain, publik tidak melihat perubahan signifikan di lapangan. Serapan fisik proyek masih rendah, akses jalan lingkungan tertunda, dan realisasi belanja publik tertinggal dari target.“Selama kepala daerah masih menganggap saldo besar di kas daerah sebagai prestasi, bukan kegagalan serapan, maka uang publik akan terus berputar di bank, bukan di pasar,” tambah Arif.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan akan memotong alokasi dana transfer daerah (DAU dan DAK) bagi pemda yang masih menaruh APBD dalam bentuk deposito tanpa alasan jelas.“Jangan jadikan APBD sebagai tabungan. Uang rakyat harus berputar untuk kesejahteraan, bukan menghasilkan bunga untuk kas daerah,” tegas Purbaya di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Hingga triwulan IV tahun 2025, data Kementerian Keuangan menunjukkan lebih dari Rp200 triliun dana kas daerah masih parkir di perbankan. Sebagian besar menganggur menunggu “waktu aman” untuk dibelanjakan—alasan klasik yang berulang tiap tahun anggaran.
Kini, publik menatap Sidoarjo dengan satu harapan sederhana: uang rakyat harus kembali kepada rakyat. Bukan menjadi angka di rekening deposito, bukan pula sekadar catatan manis di laporan keuangan. Di atas kertas, Sidoarjo memang untung. Tetapi di lapangan, masyarakat masih menanti “dividen kesejahteraan” yang tak kunjung cair. Dn/rri



